Penulis : Elok Dyah Messwati
Industri ekstraktif ini dengan mudah melabrak dan mengakali berbagai
aturan yang bertentangan dengan kepentingannya, termasuk Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan
Hidup (PPLH).
"Bahkan, UU No 32/2009 dianggap sebagai penghambat
investasi. Tak heran, undang-undang ini terus diabaikan dan pelan-pelan
dipereteli kekuatannya," kata Priyo Pamungkas Kustiadi, Media
Communication and Outreach Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), di
Jakarta, Jumat (28/9/2012).
Hampir 34 persen daratan Indonesia
telah diserahkan kepada korporasi lewat 10.235 izin pertambangan mineral
dan batubara (minerba). Itu belum termasuk izin perkebunan skala besar,
wilayah kerja migas, panas bumi, dan tambang galian C.
Kawasan
pesisir dan laut juga tidak luput dari eksploitasi, lebih dari 16 titik
reklamasi, penambangan pasir, pasir besi, dan menjadi tempat pembuangan
limbah tailing Newmont dan Freeport.
Demikian juga hutan kita,
setidaknya 3,97 juta hektar kawasan lindung terancam pertambangan, tak
luput keanekaragaman hayati di dalamnya. Tak hanya hutan, sungai kita
pun dikorbankan. Jumlah daerah aliran sungai (DAS) yang rusak parah
meningkat dalam 10 tahun terakhir.
Dari sekitar 4.000 DAS yang ada
di Indonesia, sebanyak 108 DAS mengalami kerusakan parah. ESDM dinilai
melakukan pembiaran atas kehancuran ini dan dibayar dengan kematian
warga, kerusakan lahan, dan berubahnya pola ekonomi masyarakat.
Melihat
kondisi inilah, Jatam menuntut secara tegas agar Energi dan Sumber Daya
Mineral tunduk kepada UU No 32/2009 dan tidak mengintervensi
Kementerian Lingkungan Hidup, segera menghentikan izin usaha
pertambangan dan mengevaluasi perusahaan yang merusak lingkungan,
menutup segera tambang di wilayah hutan untuk menahan laju daya rusak
tambang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar